untuk Cinta Danau Toba, Tak Hanya Diam

Sulaiman Sitanggang (CEPITO 003: judul Asli : Tak Hanya Diam)

 

Ada yang menyeru dalam relung terdalam. Menyusup di pelataran hati yang riuh oleh jaman. Dia yang merajut rindu akan sebuah pertemuan. Menguntai cinta dalam isyarat tak berujung. Rindu ini hanya kepadamu. Cinta ini hanya untukmu. O Danau Toba.

Namun mengapa, Anginmu hanya diam? Tak kah kau ijinkan aku mengarungi ombakmu?

Syair ini seperti bahasa lain dari ungkapan seorang Edward Tigor Siahaan (photograper internasional) yang bercerita tentang pengalamannya, tempo hari. Saya sudah menjalani beberapa negara, banyak tempat eksotik yang sudah saya potret langsung, namun kerinduan dan kecintaan selalu berpulang ke Danau Toba. Entah mengapa. Sepulang dari perjalanan jauh dan begitu mendekati Danau Toba, seolah ada suara yang bertalu-talu dalam diri ini. Suara itu akan menggapai senandungnya, sesaat telapak kaki sudah berdiri di salah satu bukit. Memandang sang kerinduan, Danau Toba, dari kejauhan. Beberapa kali jemari menekan tombol kamera. Mengabadikan ruang dan waktu dalam pigura. Mata menyusur mencari titik perspektif. Sebuah cara menangkap keindahan semesta yang mungkin saja hanya sedikit orang yang mau mengasahnya. Banyak mata yang telah kehilangan sentuhan cahaya keindahan. Khususnya di Tapanuli. Tak ada estetika. Tak ada seni.

Lihatlah rumah tinggal orang kita sekarang ini. Dimana keunikan rumah korek api itu? Padahal, nenek moyang berjiwa seni tinggi. Padahal dalam darah Batak terdapat warisan leluhur dengan kebudayaan bercita rasa, berkesenian.

Lihatlah itu, keelokan alam dan keelegannya yang bertahta. Menawarkan misteri keterkesimaan. Keterpukauan. Sesaat yang abadi. Namun, yang indah adalah yang indah. Selalu begitu. Seperti seni untuk seni. Sebagai insan pertiwi, yang memiliki rasa hormat kepada semesta, rasa persaudaraan kepada sesama, tentu saja kita tak bisa berhenti hanya disana. Keterkesimaan hanyalah sebuah awal. Sebagai mula untuk segala sesuatu yang mampu kita nyatakan. Lalu, kita pun berpikir tentang seni untuk kehidupan.

Dengan keadaan seperti sekarang ini, dengan nuansa yang ada sekarang, cukup hanya 10 menit untuk menikmati Danau Toba. Hanya sepuluh menit saja. Selebihnya, sudah bisa dipastikan orang tak akan ingin berlama-lama disana. Wisatawan manapun tak akan menghabiskan waktunya untuk Danau Toba selain yang sepuluh menit itu. Sepuluh menit saja untuk keindahan Danau Toba.

Mengapa? karena segala sesuatu yang ada di sekitaran Danau Toba seperti berwajah diam. Sepuluh menit keterkesimaan bertemu dengan Danau Toba berlalu, selanjutnya orang berhadapan dengan peradaban yang diam. Kehidupan seolah berhenti. Denyut nadi seperti tak berdetak, beku. Darah tak menghantarkan adrenalin yang lain, dingin. Tak ada kehangatan. Tak ada kenyamanan, kaku. Bagaimana mau menjadi pusat inspirasi? pusat wisata? sumber semangat hidup? mata air pesona keindahan?

Ini salah satu poin yang mesti disadari oleh kita semua. Utamanya masyarakat di sekitar Danau Toba. Ada apa, kok kehidupan seolah berhenti berjalan di bumi Tapanuli ini? Sebab apa, sehingga semangat hidup itu tak terlihat disini? Wisatawan berkunjung tak semata hanya untuk melihat alam. Mereka juga ingin melihat manusia yang hidup bersama dengan alam itu. Manusia yang jatuh bangun dengan corak alamnya. Ironis sekali, keindahan agung Danau Toba harus bersanding dengan keterbelakangan peradaban. Manusia yang tinggal di sekitar Danau Toba perlu pencerahan. Ini tak bisa selamanya begini. Perubahan harus nyata. Meskipun harus didorong-dorong. Harus ada yang mau mengerjakan pekerjaan kotor itu. Membawa perubahan.

Daerah lain, negara lain, tak memiliki pesona sedahsyat ini. Namun, mereka bekerja keras. Mencipta berbagai aktifitas kreatif yang menarik. Yang tak diam, yang dinamis. Mereka mencipta pengalaman. Untuk disandingkan dengan fenomena alamnya. Sehingga klop. Pengunjung betah dan tak bosan-bosan. Malah merindukan untuk datang kembali. Ada pengalaman yang didapat, dikenang, disimpan, dihargai. Baik dari alamnya maupun dari manusianya. Siapa yang tak mencari pengalaman? Manusia belajar dari pengalaman. Pepatah berkata, guru yang paling bijak adalah pengalaman. Artinya, pengalaman adalah kebutuhan manusia yang tak terbantahkan.

Ada yang timpang disini. Hanya Danau Toba saja yang memberikan pengalaman kepada pengunjung. Dengan segala kesakitannya akibat pencemaran, akibat kelalaian, akibat ketidakmautahuan, akibat ketidakpedulian dari orang-orang yang disana. Dengan semua hal yang membuat hati miris itu, Danau Toba masih tetap setia memberikan pengalaman keindahan yang tak terbandingkan. Namun, seperti tadi itu. Hanya mampu bertahan sepuluh menit. Danau Toba seperti mengalami penyakit ejakulasi dini. Sehingga para kekasih, para pengembara, para pejalan yang berkunjung tak memperoleh kepuasan, tak memiliki kebahagiaan. Masyarakat tak cukup hanya mengandalkan kemampuan Danau Toba saja. Masyarakat harus berpikir ekstra untuk mencipta pengalaman. Ya, menciptakan pengalaman. Berkreasi dengan aktifitas yang kreatif dan menarik untuk dijadikan kenangan dan pengalaman bagi pengunjung. Pengalaman yang bagaimana? Yang membuat setiap pengunjung menjadi terperangah, terkesima, dan terinspirasi. Baik oleh Danau Toba nya maupun oleh manusia nya.

Pada satu titik, kerinduan dan kecintaan tak cukup diselesaikan hanya dengan mengatur sebuah perjumpaan. Seperti menjalin hubungan dengan kekasih. Bagaimana mungkin hubungan tetap langgeng tanpa pengalaman bersama? Pengalaman untuk membuat kekasih bertumbuh, berubah, dan belajar memaknai hidup bersama. Mengisi dan merayakan hidup ini. Mungkin ada makna yang disembunyikan musisi Padi dalam salah satu lirik lagunya, "Cinta bukan hanya sekedar kata, Cinta tak hanya diam".

Disaat Danau Toba tak pernah berhenti berseru-seru dalam bisikan kepada hati yang merindu, kepada jiwa yang mencinta. Semoga, masyarakat Tapanuli tak hanya diam.

sstoba agustus2010

Lumbin-019-web

 

Tautan :

ANGSA HITAM DI TEPIAN DANAU TOBA

Sisi Lain, Pesta Danau Toba 2010

Tona Ni Tao

9 tanggapan untuk “untuk Cinta Danau Toba, Tak Hanya Diam

  1. wah, kalau saya membaca uraian ini, memang saya sangat terharu, saya jadi teringat akan moto halak hita yaitu hamoraon, hagabeon, hasangapon. Apakah moto tersebut adalah cermin dari halak Hita saat ini? , kalau saya telaah moto tersebut, saat egoistis, dan tidak memperhatikan lingkungan. kalau kita melihat dalihan na tolu manang ampang na opat, keduanya hanya mempertimbangkan hubungan kemanusiaan tanpa ada ikatannya dengan lingkungan dsb. Sekarang menjadi pertanyaan bagi saya. adakah metoda peninggalan leluhur kita yang terlupakan?, kalau kita lihat bentuk2 rumah tradisionil mupun ukiran2 dan tulisannya. Halak Batak mempunyai selera kehidupan yang tinggi, apakah perubahan jeniskepercayaan dunia akherat, atau modernisasi merubah pola hidup mereka?, contohnya mereka lebih cenderung les piano yang tidak jelas kegunaannya dari pada memperdalam musik tradisionil.
    Horas

  2. Lae Sitanggang,aku mengapresiasi ungkapan hatinya.Bagiku sebenarnya,sambil membenahi kondisi fisik lingkungan alamnya,bersamaan dengan itu harus back to basic dlm tatanan hubungan sosialnya(DALIHAN NATOLU).Ketika kondisi masyarakat sudah mulai longgar tatanan sosialnya maka sangat sukar menggerakkan modal sosial yang dimiliki.Oleh sebab itu,mestinya Pemerintah Daerah Samosir BERSAMA DPRD memperkuat Tatanan Dalihan Natolu dengan membuat PERATURAN DAERAH tentang Tata Hubungan masyarakat ( DALIHAN NATOLU) termasuk penyelesaian perkara (Perdata) TETAPI tidak termasuk wilayah Hukum Pidana.Kalau benar asal usul orang Batak berasal dari Samosir,berarti Samosir merupakan benteng asal usul Tatanan sosial batak.Begitu banyaknya para pakar hukum batak ,hal itu sangat bisa.Apalagi dalam era otonomi daerah,hal ini diakomodir.Sebab apapun ceritanya,kondisi alam itu juga erat kaitannya dengan perilaku manusia.Ini usul lho lae!!!! Mauliate.

  3. di jou ahu mulak tu tano batak, hape tolu taon dope au di pangarantoan.
    Walaupun belum banyak tempat eksotik yang ku jalani, namun dari sedikit tempat yang telah ku lihat, kurasa aku sudah bisa menarik sedikit perbandingan.
    Aku memuji Danau Toba bukan karena aku orang Batak, namun memang karena keindahannya yang begitu mistis dan luar biasa. Tapi cukupkah hanya itu saja..?
    Pantai Kuta, hanya hamparan pasir dan ombak kecil di pantai, demikian juga dengan Pantai Senggigih di Lombok, sama saja. Borobudur, hanya monumen batu yang diam demikian juga candi Prambanan dan candi Mendut. Tetapi kenapa semua itu menarik perhatian, sementara Danau Toba sudah menjadi kenangan.
    Danau Toba tidak lagi se agung ceritanya dulu. Sekarang Danau Toba tinggallah menjadi danau yang kesepian yang ditinggalkan dan dilupakan para wisatawan.
    Saya melihat ada beberapa faktor yang mengakibatkan kurangnya minat wisatawan untuk datang ke Danau Toba. Dari beberapa tempat wisata yang pernah saya kunjungi, bukan cuma keindahan alamnya yang mereka jual, namun juga keadaan di sekelilingnya juga turut mempengaruhi. Misalnya, Bali disamping wisata pantainya, mereka juga menawarkan wisata budaya. Seperti Desa-desa adat dan tari kecak mereka yang sangat menarik. Dan setiap saat mereka melakukan inovasi untuk memperbaharui wajah pariwisata mereka.
    Sementara di danau Toba, yang dapat kita lihat hanya danau dan sepeda air padahal daerah wisata lain sudah meninggalkannya dan beralih ke banana boat, sementara atraksi adat di desa Sitindaon Pangururan dari dulu sampai sekarang hanya begitu saja, tidak ada gebrakan ataupun inovasi baru.
    Selain itu juga keseriusan pemerintah dalam pengelolaan pariwisata masih dipertanyakan. Terkadang langkah pemerintah untuk meningkatkan sektor yang satu ini kecenderungan salah dalam mengambil langkah. Sebagai contoh, Monkey area yang di parapat Milik Pak Manik, sekarang sudah tidak ada lagi, karena pemerintah mencoba untuk mengeksploitas. Seharusnya pemerintah harus menggunakan pendekatan yang tepat dan menjalin kerja sama dengan pihak terkait, tidak main ambil saja.
    Yang saya lihat, pemerintah menunggu bola, bukan menjemput bola. Dalam artian, tunggu dulu ramai dengan wisatawan baru akan di bangun. Padahal bagaimana wisatawan bisa datang jika objek wisatanya belum dibangun. Sehingga wisatawan dan pemerintah saling menunggu. Akhirnya, saat objek wisata lain berbenah dan akhirnya mampu menarik wisatawan, pemerintah daerah gigit jari dan lagi-lagi danau Toba kembali kesepian.

    Mungkin itu saja opini saya Amang…
    Horas……

  4. @Agus Hutabarat
    Ya… itulah orang-orang kita itu …
    pemerintah mencoba untuk mengeksploitas.. ? kan biar ada buat korupsi tar….

  5. Oh .. malang nian nasibmu Danau Toba
    Cerita keindahanmu, kemolekanmu ,
    Disanjung bagai anak gadis nan rupawan
    yang di dendangkan lewat bait syair lagu
    maupun puisi-puisi nan syahdu.
    Namun…..hanya 10 menit, kata…
    @ tak hanya diam
    Coba kita renungkan kenapa cerita diatas begitu menyedihkan.
    Mari kita ber andai-andai,
    Seandainya bukan orang batak penghuni sekitar Danau Toba…
    Seandainya orang batak bukan mayoritas nasrani….
    Seandainya…. ah… seandainya……..3X
    Seandainya orang batak terpilih lagi jadi Gubernur di Sumut…
    Atau mungkin seandainya ada Propinsi Tobasa !
    Haa…? Aha do nimmu …?! Jangan tendensius lah kawan…
    Sekali lagi mari kita renungkan.
    Horas Tondimadingin pir tondimatogu
    Dari anak rantau di huta sileban
    I love Lake Toba….!

  6. jangan tanyakan apa yang diberikan pemerintah buatt danau toba, tapi apa yang bisa kita berikan untuk danau toba ? tidak usah muluk -muluk saat kita berada disana maukah kita tidak membuang sampah ke danau toba ??????? malu kita masa harus WNA yg mempelopori pembersihan enceng gondok ??????? kita tidak butuh NATO !!!!!!!!

Tinggalkan komentar