Tembok bambu yang kian usang

 Sulaiman Sitanggang  (CEPITO 009)

Sore itu sebilah pelangi terlihat membelah langit toba, warna warninya menikam tepat di jantung kota kecil Balige. Matahari meniti senja dari balik bukit barisan sejajar tebing curam Tarabunga. Seolah hendak ikut ambil bagian menyapukan seberkas sinar kekuningan yang dipantulkan oleh dinding rumah-rumah penduduk. Rumah-rumah yang terdapat di tepian danau biru itu tak juga mau balik kanan, dengan wajah mengarah dan menghadap ke danau. Hingga sore ini, Danau Toba belum menjadi orientasi tata kota. Lembaran sejarah kembali terisi dengan pola pembangunan yang asal, tanpa perencanaan yang rasional, berestetika, dan harmoni. Padahal di belahan pulau sana, semisal Yogya, Laut Selatan dengan mudah menjadi orientasi pembangunan tata kota. Artinya, sebelum Danau Toba menjadi orientasi, tidak bisa berharap banyak akan kemajuan dan pengembangan yang harmonik.

Memang bukan perkara mudah membangun dan mengembangkan sebuah kota, bahkan untuk memulai sebuah perkampungan diperlukan segenap dukungan alam semesta. Mulai dari daya dukung lingkungannya, hingga pola hidup dan budaya masyarakatnya. Segalanya musti mencerminkan harmonisasi. Kalau tidak, jangankan manusia, tak seekor pun makhluk hidup mampu bertahan disana. Sehingga tak jarang, program transmigrasi yang pernah dicanangkan penguasa negeri ini semuanya relatif kandas dan sia-sia.

Memulai perkampungan baru teramat susah, nyatanya kini orang-orang malah meninggalkan perkampungan. Berlari kencang meraih gemerlap kota besar. Rumah-rumah adat yang didirikan para pendiri perkampungan adat itu, kini tinggal sepi dan dingin. Satu persatu rumah adat itu perlahan roboh berkalang tanah. Tak lagi ditemukan kenangan disana. Satu persatu elemen hidup seperti menguap tak berbekas. Menuju mati. Yang dulunya pernah beradab dan berbudaya kini kembali menjadi rimba. Budaya Batak yang pernah memiliki rumah adatnya sendiri di perkampungan tembok bambu itu, kini seperti anak jalanan yang tak memiliki tempat bernaung. Nasib sebentar lagi menghujamkan akhir cerita tentangnya.

Sementara budaya menemui jalan tragisnya, falsafah kekeluargaan yang menjadi pilar-pilar budaya itu perlahan tak lagi menunjukkan simbol kekuatannya, sebagai inti sel terkecil persatuan. Artinya, tak ada lagi kesatuan. Anak bangsa kembali kucar-kacir tak karuan. Tanpa identitas. Kehilangan jati dan diri. Seperti badan tanpa kepala. Berjalan terhuyung tanpa arah, lalu menemui ajalnya. Tinggallah kesendirian yang berkecamuk dalam setiap orang. Terlahirlah anak-anak generasi kesendirian yang tersia-siakan. Seluruh generasi ini dipompa untuk tercerabut dari akarnya, menjadi penunggu meja atau sosok yang telah tunduk kepada otoritas, budak berpangkat, tikus-tikus berdasi. Anak-anak sejarah yang bergerak tanpa tujuan atau tempat. Kolektifitas hanya sebatas fiksi. Tak ada perang besar, tak ada depresi massal. Semua hal ikhwal menjadi perang individual. Perang melawan hidup itu sendiri yang tak kunjung terpetakan. Salah satu potret krisis kolektifitas, kemanusiaan yang ringsek. Pencarian jawaban seolah menemu jalan buntu. Tak kunjung ditemukan.

Seketika, perasaan kehilangan yang menguasai suasana senja itu. Dalam kehilangan hanya kutemukan kata-kata, beberapa terucap terpatah-patah, beberapa remuk redam.

kepada sang terjaga:

terlihat jelas pada suaramu

kutahu ada yang tersembunyi disana, sebuah rindu

dingin menatap mentari yang semakin tua

ataukah mata kita yang semakin redup? ucapmu!

kepada sang terjaga:

pernah ada gelombang manusia

digerakkan oleh nada-nada alam yang suaranya dibungkam

kudengar gerakan itu pernah ditorehkan, sejarah

hanya saja tak pernah terungkap

ataukah telinga kita yang semakin tuli? ucapmu!

Bias-sinar

Di sebuah sore, cerita tepian toba, bersama Amang Monang Naipospos (mauliate kopi di sorenya), dan Amang Bonar Siahaan (mauliate tuak di malamnya). Berbincang tentang keseharian, peristiwa, budaya, dan alam toba. Mengenang kawan-kawan yang… Mengenang perkampungan Batak tempo dulu dengan tembok bambu yang… Ah, terkenang saja…

sstoba, 2011

2 tanggapan untuk “Tembok bambu yang kian usang

  1. kalau Ampang na opat telah tinggal menjadi lambang , maka ini lah yang terjadi kalrena ada suatu yang hlang dari dalihan na tolu. Horas

Tinggalkan komentar