AKU, ANAKKU DAN NOVEL SORDAM

Monang Naipospos

Setelah novel SORDAM kuterima tgl 03 Mei 2007 langsung dari penulisnya Lae Suhunan Situmorang di Jakarta, saya berkeinginan mengomentari isi novelnya itu. Setibanya di Toba, saya melanjutkan membaca yang belum tuntas selama dalam perjalanan.

Beberapa hari kemudian, novel itu tidak kutemukan lagi di mejaku. Dengan setengah emosi saya mempertanyakan hal itu kepada seisi rumah, terakhir kuketahui dari pengakuan anakku Tami yang siswa SMA bahwa novel itu dibawa ke sekolah untuk dibahas dengan teman-temannya. Alasan itu tidak kuterima, karena untuk apa anak sekolah baca-baca novel. (dalam benakku, anak sekolah seharusnya baca matematika bahasa inggeris dan buku pelajaran lainnya sesuai kurikulum)
Setelah dijelaskan kaitannya dalam pelajaran bahasa Indonesia untuk melakukan resensi buku sastra, akhirnya dia tertarik dengan Novel Sordan dan diputuskan untuk diresensi memenuhi tugas sekolah. Saya merasa malu walau tidak mengaku.

Saya membaca hasil resensi pertama (yang sudah ditunjukkan ke gurunya), dan mengomentari hingga dilakukan perbaikan. Tidak selesai sampai disitu, adik kelasnya SMP dan abang kelasnya yang saat ini mahasiswa ekonomi USU juga mengomentari isi dan kelengkapan format resensi itu. Kata mereka, tidak ada memuat perwatakan tokoh, setting tempat kejadian dan sudut pandang pengarang.
Saya terbengong atas komentar-komentar/dialog seisi rumah tentang metode pembuatan resensi yang sebelumnya tidak saya tau sama sekali. (maklum aja, saya sekolah kejuruan dan tidak paham itu semua)
Saya lihat Tami kecewa berat atas ketidak sempurnaan resensinya itu namun saya putuskan untuk dimuat di blog Partungkoan. Semoga Tami makin pintar

Membaca novel Sordam, kita akan review kembali kehidupan masyarakat Batak, khusunya Samosir yang kalut pada jaman awal kemerdekaan. Mereka melakukan trans atas inisiatip sendiri ke daerah yang lebih subur. Namun, sering mengalami nasib naas dalam perjalanan menelusuri hutan, kelaparan dan diserang binatang buas.

Orang Samosir sudah banyak berhasil diperantauan, memiliki pangkat dan harta, namun mereka lebih bersemangat membangun “monumen kematian” daripada “monument kehidupan”. Pesta tugu dan menunjukkan kehormatan individu, “saompu – saama”.
Gagasan untuk membangun monument hidup dimunculkan seperti gagasan “gebu minang seribu” di Sumatera Barat. Namun, hanya wacana.

Menjadi cermin diri kita, dari kegagalan kita (orang Batak) menjaga kelestarian lingkungan tanah batak dan Danau Toba. Kegagalan ini (mungkin ketidak seriusan pemerintah Orde Baru melakukan community development, community resources dan community organizer) membuat kita bertekuk lutut saat lingkungan kita dieksploitasi yang berdampak kerusakan.
Diceritakan juga perjuangan rakyat menentang perusahaan pulp di Porsea, setelah hutan tanah Batak dan khususnya hutan Samosir yang menjadi matarantai siklus hidrologi bumi Samosir telah dirusak. Yang saat ini berusia 45 tahun keatas mungkin masih bisa mengenang tulisan rangkaian pohon pinus “rimba ciptaan” di Pulau Samosir yang bisa dilihat dari Parapat. Itu sudah punah.

Buruh tetap menjadi persoalan negeri. Seorang gadis muda putri dari seorang ibu muda yang gila setelah diceraikan suami muncul menjadi pion gerakan buruh menentangan kejaliman pengusaha dan penguasa pada mereka. Gadis ini yang memicu semangat tokoh novel ini untuk membela buruh, yang konon para lawyer umumnya menghindari pekerjaan yang tidak menghasilkan duit.
Agama menjadi konfik eksternal. Dialog Paltibonar dengan Beth tentang bagaimana kita seharusnya berskikap sebagai umat beragama cukup mengesankan. Juga mengkritisi kejadian konflig internal lembaga gereja besar di Tanah Batak

Permainan hukum, perusakan lingkungan, persoalan buruh, pembantaian hak berdemokrasi pada jaman Orde Baru khususnya tragedy “kudatuli” dikuak oleh novel ini dengan setting pola pikir dan pandang sang tokoh. Tragedy ini menjadi catatan penting karena sang tokoh diketahui sudah meninggal (melalui “datu parsordam”) dengan rekan-rekannya yang lain dikubur dalam satu lubang dan ditanami rumput. Para keluarganya belum mengetahui mereka sudah mati atau masih hidup.

Ironis, arwah Paltibonar mengeluhkan : “Kami semua masih dicari dan ditunggu-tunggu. Tapi, Ibu yang kami perjuangkan itu tidak pernah mencari kami. Tak lagi mengingat orang-orang seperti kami……”

Tami Miannauli Naipospos

Resensi Novel SORDAM
(Dalam rangka memenuhi tugas mata Pelajaran Bahasa Indonesia)

1. Judul Resensi
“Perjalan hidup seorang berprofesi sebagai Advokat”

2. Identitas buku– Judul novel : SORDAM
– Pengarang : Suhunan Situmorang
– Penerbit : Gagas Media
– Tempat terbit : Jakarta
– Tahun terbit : 2005
– Tebal buku : vi + 360 hlm ;21cm
– Harga : Rp –

3. Riwayat kepengarangan pengarang
Suhunan Madja Situmorang, lahir 12 Maret 1961 di Kota kecil Pangururan, Samosir. Anak kesembilan dari 11 bersaudara, ayah tiga anak. Sejak mahasiswa sudah menulis artikel hukum dan tinjauan buku di beberapa media cetak. Cerpennya pernah dimuat di Pelita, Kartini. Femina. Tahun 1988 meraih ‘Piala Ikadin’ dalam lomba menulis hukum yang diselenggarakan Kejaksaan Agung dan Majalah Kartini.
Setamat dari Fakultas Hukum UKI jadi legal officer di sebuah perusahaan swasta, kemudian jadi jurnalis di Forum Keadilan. Ia kemudian pindah ke Center for Legal Studies (Pusat Pengkajian Hukum) sebagai legal researcher & editor kajian hukum bisnis–korporasi yang diterbitkan lembaga tersebut, sekaligus konsultan hukum di EY Ruru &Rekan. Saat ini of-counsel di firma hukum NUGROHO PARTNERSHIP khusus di bidang pasar modal dan litigasi komersil, selain on-call project di dua lembaga kajian hukum dan kebijakan public. Ia tercatat anggota IKADIN dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal.

4. Keunggulan & Kelemahan buku

Keunggulan :
Sebuah novel yang menarik dan menggambarkan pola hidup batak pada abad moderen yang dibalut persoalan kekakuan budaya dan upaya mempertahankan kehormatan individu.
Profesi advokat terpapar, sebetulnya sarat dengan berbagai tindakan yang banyak menyalahi kaidah penegakan hukum yang benar dan adil.

Kelemahan:
Alur ceritera didominasi seorang tokoh dan mengalir tanpa adanya tokoh lain. Tidak ditemukan suatu buah penyadaran dari keluarga (saudaranya) atas keberhasilan karirnya dan lingkungan kerjanya sebagai praktisi hukum. Dengan begitu mungkin novel ini dianggap sebagai pengalaman pribadi yang menuturkan fakta apa adanya.

5. Bahasa yang digunakan pengarang
Masih agak sulit dipahami, karena terdapat istilah-istilah batak yang masih jarang didengar khususnya bagi generasi muda.

6. Ringkasan/sinopsis

Paltibonar Nadeak, adalah orang batak yang mencoba menjadi manusia kosmopolitan di tengah himpitan budaya batak yang masih melekat kuat dalam dirinya.
Setibanya di kota metropolitan Jakarta dia disambut dengan sikap yang mengecewakan dirinya mengingat sikap sosial di kampung halamannya yang sangat familiar. Bahkan kekecewaan pertama diterima dari saudara kandungnya sendiri.

Perjuangan hidup Paltibonar cukup ulet hingga berhasil menjadi seorang sarjana hukum. Sebagai praktisi hukum (lawyer) dia menemukan kekecewaan selanjutnya setelah menemukan adanya perdagangan hukum tanpa pertimbangan keadilan.
Pertemuannya dengan Beth dan Diandra memberikan kesan tersendiri bagi dirinya dan mencoba membedakan antara mencintai dan menyayangi.

Kesimpulannya mencintai Diandra diucapkan dengan menguraikan latar belakang kehidupan kaumnya di batak khususnya di Samosir. Respon Diandra cukup beda dengan para wanita pada umumnya. Dia mengakui mencintai Paltibonar sekaligus dengan Danaunya yang sangat dibanggakan.
“Bawalah aku ke Danaumu”, demikian ketegasan Diandra saat melihat keraguan Paltibonar untuk melanjutkan percintaan mereka karena hambatan budaya dan keluarga.

Perjalanan hidupnya cintanya penuh kegetiran karena keterikatannya pada kampung halaman, sanak saudara, dan terutama pada ibunya yang sepertinya menjadi sumber energi dan semangatnya. Ibunya bersikukuh bermenantukan putri Batak khususnya putri dari Samosir.

Pernikahan Diandra dengan pilihan orangtua membuat Paltibonar limbung dan kehilangan kebijaksanaan hingga bertemu Mary gadis Inggeris. Kebebasan Mary mengambil keputusan dalam hidupnya seolah membuat dia terhanyut dalam kebebasan yang bukan pilihan kebijaksanaannya sebelumnya.

Disinlah ditemukan kontradisksi dalam hidup Paltibonar, yang menghargai adat istiadat dan keinginan ibundanya justru menuai beban. Pernikahannya dengan Mary tanpa dihadiri keluarga, mengikuti Mary dengan semua kebebasannya menentukan pilihan.
Pupus akhirnya harapan Paltibonar dan ibunya setelah diceraikan Mary. Mary mengetahui penghianatannya dengan Diandra.

Muncullah perubahan sikap Paltibonar yang dulunya seperti batukarang. Dia meninggalkan karir cemerlangnya di Singapura dan ikut menceburkan diri dalam kegiatan politik menentang segala kebobrokan penyelenggaraan Negara. Dia menjadi korban peristiwa penyerbuaan markas partai yang disebutnya dipimpin seorang Ibu.

Kabar kematian Paltibonar diketahui dari seorang ‘Amanta Datu Parsordam’ dukun yang konon memiliki kemampuan supranatural untuk memanggil roh orang yang telah mati.

7. Kesimpulan
Sordam sudah jarang didengar. Namun melalui penelitian, melodinya sendu kadang menghilang dan mengayun dengan nada tinggi. Seandainya Paltibonar tetap hidup, dia akan mampu mengenang perjalanan hidupnya melalui melodi sordam. Sayang tidak ada lagi ditemukan di Toba yang mampu memainkan.
Membaca buku ini kita sebaiknya lebih dulu tau apa itu sordam dan perannya dalam seni musik batak.
Novel ini layak untuk dibaca oleh semua kalangan.

Penulis Resensi:

tami-2.jpg

Tami Miannauli Naipospos
Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Laguboti

Baca juga Cerpen Suhunan :
Kebaya Pengantin
Keputusan Merlin
Permintaan Marojahan

53 tanggapan untuk “AKU, ANAKKU DAN NOVEL SORDAM

  1. Selamat dan mauliate buat Tami masih mau memuat resensimu di blog ini, yang sedikit banyak mengurangi rasa penasaranku tentang novel SORDAM, jujur semenjak novel itu jadi bahasan diblog ini seluruh toko buku terkenal diJakarta yang saya kunjungi stoknya kosong, termasuk pasar buku Kuitang di Jakarta bilang itu novel langka dan terbatas. Kamu salah satu yang sangat beruntung punya kesempatan membacanya.

  2. aku kagum dengan tami. jarang aku temukan pelajar di tobasa yang mampu meresensi buku. mungkin karena pihak guru sendiri masih sangat jarang menugaskan — atau jangan-jangan guru pun tak bisa membuat resensi.

    pesanku buat tami: teruslah membaca, menulis, lalu membaca lagi, kemudian menulis. ingatlah tami — seperti juga motto di blogku — bahwa “menulis adalah bekerja untuk keabadian” [pramoedya ananta toer].

    mungkin tami sudah pernah mendengar: orang pintar belum bisa diakui pintar bila ia tidak mampu menulis.

    semoga lahir tami-tami yang lain di tobasa.
    salam. horas.

  3. Kami sendiri tidakmenemukan di toko buku. Semoga penulisnya membaca pertanyaan anda den memberitahu dimana novel itu bisa ditemukan

    horas

  4. @Partungkoan
    Terimakasih utk Pak Naipospos yang memberi apresiasi khusus utk novel tsb di blog ini. Terus terang, dari sekian banyak komentar yg saya terima, tanggapan bapaklah yang sangat mengesankan, sebab mampu melihat di balik penggunaan judul “SORDAM itu.

    Memang saya tdk menyalahkan pembaca/komentator, apapun pendapat mereka mengenni SORDAM, sebab, sebuah karya tulis fiksi (saya tdk berani menyebut novel tsb masuk karya sastra krn takut dianggap memaksakan diri) adalah menjadi milik semua pembaca setelah diluncurkan ke publik. Konsekwensinya, saya akan menghormati tiap tanggapan, seperti apapun itu. Krn pak Naipospos sdh mengungkapkannya (termasuk di Bataknews), saya coba beri sedikit. Selain diceritakan dlm satu bab mengenai SORDAM itu sendiri, sebetulnya, seperti pendapat bpk, sebetulnya saya menggunakan alat musik yg magis itu sebagai metafora atau semacam simbolisme utk menggambarkan kehidupan sang tokoh (novel).

    Sbgmn kita tahu, nada pembuka alat tiup SORDAM adalah: menjerit (simbolisme awal kelahiran), lalu meratap-ratap (simbolisme utk suka-duka kehidupan), merintih, dan kemudian mencekam…(simbolisme utk menggambarkan btp tragisnya hidup si tokoh itu). Saya sungguh kagum sama Pak Naipospos krn langsung mampu menafsirkan simbolisme SORDAM tsb. Terusterang, baru bpk yg mampu menangkap jantungnya!

    @ Tami
    Saya senang komentarmu, dan seperti penilaian lae Maringan dan lae Jarar, Tami itu hebat & berbakat. Andai Tami sekolah di Jakarta, Bandung, Yogya atau Surabaya, saya tak terlalu heran. (SMA di kota-kota tsb, lumayan bagus apresiasi sastra dan kemampuan menulisnya. Krn didikan guru mereka, tentu saja).

    Mengenai kritikmu menyangkut kata/istilah Batak sehingga menyulitkan saat membaca, memang kusadari sejak awal. Tapi, Tam, ada alasannya. Pertama, banyak istilah/kosakata dlm bhs Batak yg tdk pas bila ditransfer ke Bhs Ind. Misal, inangtua, inanguda, namboru (dlm bhs Ind, semuanya akan diartikan “bibi”). Pdhl, bagi orng Batak, pemakaian panggilan tsb, berbeda sama sekali. Demikian halnya kata-kata yg lain. Kedua, saya juga sngt ingin mengenalkan bhs & budaya Batak (khususnya Toba) ke pembaca Batak dan non-Batak.

    Selama ini sangat jarang tulisan (buku) berupa cerita, esai, kajian, dll, menyangkut sisi kehidupan manusia & budaya Batak Toba. Org Batak sendiri (apalagi yg lahir dan besar di luar “dunia Batak”), banyak yg tdk bisa berbhs Batak, tdk begtu paham budaya batak, dan hanya sekadar punya marga (itupun mulai banyak yg meninggalkan).

    Mungkin saya sedikit chauvinis krn lewat novel itu ingin mengatakan pd publik: ini lho kami manusia Batak itu! Bkn hanya si Poltak, pengacara “yg raja minyak itu,” atau yg dikenal pandai menyanyi-catur, atau yg dikatakan kasar-kasar kalau bicara itu! Di balik ke-sangar-an wajah dan bicara kami, sebetulnya budaya kami halus, sifat kami bisa lembut, romantis, bahkan sangat sentimentil (andung-andung itu contohnya), dan sangat egaliter (tak ada kasta).

    Tapi saya juga tdk mau hanya menceritakan yg baik-baiknya saja, dan lewat tokoh novel (Paltibonar) cukup keras mengritik sifat dan perilaku “halak hita”. Kenapa? Utk menunjukkan bhw Batak, sejatinya adalah orang yg terbuka dan mau menerima kritik–demi kemajuan! Juga, leluhur kita sejak ratusan (ribuan?) thn lalu sebetulnya sudah mewariskan pada kita tata sikap berupa sejumlah poda, uhum, umpasa, utk dijadikan norma-norma dan filosofi kehidupan kita.

    Akhirnya, seperti anjuran lae Jarar, saya sangat berharap bila Tami akan terus dan terus menulis.

    @ Maringan
    @ Jaysam
    Terimakasih yg tulus atas perhatian dan keinginannya mendapatkan novel tsb. Maaf, agak susah memang dicari. Semoga dlm waktu dkt penerbitan edisi kedua dpt dilaksanakan (mungkin dng penerbit yg berbeda), dan akan kuberitahukan pd kalian. Sekali lagi, terimakasih ya.

  5. Saya ingin mengirimkan buku karya saya padamu. Sudi?
    Buku tersebut ada di Gramedia : Cermin Kaca Retak. Bila tak lagi dijual di sana, dengan senang hati saya mengirimkannya.

    *** Dengan senang hati…. Tami pasti akan menerima di SMA Negeri 1 Laguboti 22381

  6. horas…

    saya penasaran tokoh dalam dengan novel tersebut…apakah sampai sekarang novel itu masih di jual….
    bila tidak ada.. mohon bantuannya

    mauliate

  7. Pastilah sebuah novel bagus apalagi diterbitkan di tahun 2005 sudah habis dimana-mana. Besar harapan edisi II langsung turun cetak sehingga mampu mengobati animo masyarakat terhadap novel ini. Terus terang novel sordam milikku sudah berlabuh di Jogja dibawa sama adikku yang kebetulan kuliah di fak. hukum atma jaya. Entah gimana skrg nasib novel itu hehehe.. Pingin rasanya membeli kembali.
    So, Lae Suhunan.. buruan cetak lagi dan kami menunggu Novel berikutnya 🙂

  8. @Charly Silaban
    Mauliate, lae. Semoga cetakan kedua novel itu bisa segera terbit. Tentang novel kedua, sudah mulai kugarap. (baru saotik dope). Kebetulan, seperti yg pernah kusinggung ke lae di sebuah kafe, tokoh kita itu: SILABAN. Lae harus mendukungku nanti, siapa tahu ada yg tak berkenan…
    Horas

  9. saya sangat penesaran sekali dengan novel tersebut , saya sudah coba menghubungi saudara di mdn untuk mencarinya tapi sampai sekarang tak ditemukan mungkin ada yg bisa bantu dimana bisa menemukannya
    mauliate godang

  10. Pertama, kata salut buat adik kita Tami yang sudah melahap sebuah novel -walau menurut saya lebih dari sebuah novel- yang cukup berat untuk dipahami. Remaja sekarang lebih larut dan tenggelam (baca; maup) pada sinetron dan cerita-cerita yng tidak berpijak di bumi. Tapi, alhamdulillah, putri lae Monang ini, punya apresiasi yang tinggi terhadap SORDAM.

    SORDAM -nya Lae Suhhunan Situmorang , (yang kebetulan bukunya dihadiahi adik saya bulan April yang lalu), memang tak mudah dikunyah untuk memahami maksudnya. Tapi sebagai sebuah buku , antara sebuah roman sejarah dengan cerita fiksi- buku ini, layak disandingkan dengan buku buku roman sejarahnya Pram. Pram, setia dengan setting “jawa dan majapahitnya dan penguasanya”, ya, Suhunan pada panggung sejarah yang umurnya tidak terlalu jauh dari masa pembaca sekarang, dus, kebersahajaan cerita yang sulit dihubungkan dengan elit kekuasaan. Bumi manusia, Gadis Pantai atau juga Arok Dedes-nya Pram,memang lekat dengan tamsil penguasa dan kekuasaan, SORDAM dengan Palti Bonar-nya , adalah cerita yang lebih berkutat pada “sikap” yang mendua -bak kata Todung Mulya dlm pengantarnya-dari tokohnya.

    Yahh, sebagai sebuah buku yang ditulis “halak kita” buku ini memberi sumbangan yang bagus untuk pencerahan pemikiran pembacanya. SORDAM, seperti judulnya, tidak hanya menyayat dan melengking, tapi juga telanjang dan blak-blakan menceritakan “bahwa hidup memang penuh warna dan tak bisa dipastikan”.

    Mudah-mudahan, semakin banyak buku karya ‘halak kita’ lagi. Dan tentunya, semakin banyak Tami-tami muda yang tertarik dengan buku yang lumayan berat dikunyah seorang siswa SMA.

  11. @ Lae Yunan.
    Sayang berem si Tami agak pemalu, aku nggak nyangka anak sekolah sekarang sudah punya apresiasi sastra agak lumayan. Ketika saya coba edit tulisannya, dia keberatan karena lari dari makna yang dimaksudnya. Saya mau arahkan ke maksud dalam hatiku… ha… ha…. arogan aku ya lae… Makanya yang ada dalam hatiku kutuliskan diatas resensinya. Akhirnya saya hanya edit kata, kalimat dan pengurangan kata berulang.

    Kalau lae datang ke rumah, langsung aja kritik dia soal resensinya itu, dia pasti diam. Aneh dia itu susah diajak terbuka. Dia hanya ranking 7, lumayan ya lae 10 besar, dan mendapat peluang jurusan IPA.

    Berem si Togu yang SMP ranking 4 kelas unggulan SMP 1, juara 3 olimpiade sains bidang studi Biologi se Tobasa. Dia ikut olimpiade sains tingkat propinsi tgl 18 Juli ini.

    Sikecil perempuan yang manja itu juara 2 kelas 1 SD, dia menuntut sepeda…. He… he… Datang dulu lae, semangati para beremu itu. Setelah pindah tidak pernah kontak.

    Novel Suhunan bila diresensi beberapa kali lagi pasti akan ditemukan sisi sisi lain yang dapat dikaji. Kritikannya ito lhooo…. kadang ditanggungkan … bikin kita penasaran…. kan.
    Bila satu topik dikuliti dan kena dalam sanubari kita… lalu ditinggalkannya kita berpikir sendiri karena dia sudah beralih. kadang kita harus tutup buku itu dulu melanjutkan penerawangan yang lebih dalam. “Genit” kan lae.

    Itulah sisi kreatif penulisan novel Sordam yang kusuka. Kalo generasi muda seperti Tami kan biasanya “happy” mengahiri bacaan novel yang “ending”nya kebahagiaan, kemenangan, seperti kita masa remaja dululah lae.
    Kapan lae datang bawa foto2 menarik darisana?

  12. Lae Suhunan Situmorang,
    Tidak semua orang punya talenta untuk menulis. Juga, tidak banyak orang punya ketertarikan dengan sebuah novel atau roman.
    Tapi, sebuah novel atau pun roman -tidak berlebihan ‘kan- bisa membangun kepekaan maupun kepedulian seseorang terhadap sesuatu hal ??
    Karena itu, saya punya usul -sorry kalau agak salah-, lae juga buat novel “budaya” batak. Mungkin dengan gaya tulisan yang agak “gaul” dan agak mudah dicerna oleh orang-orang muda batak, terutama yang jauh dari bumi bonapasogit. (saya baca cerita lae di LAPO TUAK-nya Lae Jarar di Bataknews, ternyata segar, kocak dan menggelitik juga-
    Kenapa saya coba usulkan seperti ini ?! Mungkin dengan cerita yang agak “gaul” seperti itu tidak terjadi anekdot (contoh ini ya) seperti ini:
    Dua orang halak kita ketemu di sebuah bis.
    “Bah, orang batak juga lae ya. Marga apa lae”
    “Napitupulu “, jawab yang disampingnya.
    “Oh, samalah, aku juga Napitupulu Lae”, kata si kawan.
    ‘Kan nga sega be !!!

    Yaaaah, seperti “pariban dari Bandung” nya Arifin Siregar beberapa tahun yang silam-maaf , bukan membandingkan-, yang secara tidak langsung menyampaikan pesan, bahwa pariban dan berpariban pada orang batak itu adalah seperti ini seperti ini dan sperti ini ….
    Dan, kalau tak salah, roman atau novel zaman dulu, seperti Sitinurbaya, Hulubalang Raja, Harimau-harimau dll, disamping ada unsur sejarah, cinta juga menyisipkan kebudayaan.

    Saya yakin lae bisa memahami usul saya yang agak usil ini.

    Buat lae Monang, nanti saya usahakan singgah di Toba. Maklum lah lae, koeli kontrak! lebih sering dikejar-kejar progress kegiatan daripada mengejar proses.

    ok. Mauliate.

  13. Lae Yunan Na-70, mauliate tu perhatianni lae.
    Ide dan gairahku menulis tentang Batak (fiksi dan non-fiksi), sebetulnya terus meluap-luap macam air Aek Sarulla itu. Saking meluapnya, jadi kewalahan mau menulis yg mana duluan. Apalagi setelah kehadiran blog-nya lae kita Siahaan “narittik” dari Belgia, eh Balige itu, semakin kacaulah skedulku menulis (sudah dirusakkannya semua konsentrasiku menyelesaikan “proyek-proyek” yg sebetulnya sudah kuguratkan sejak dua tahun lalu).

    Tapi, ada “rahasiaku” yg, biarlah kubocorkan ke lae. Sebetulnya, sejak SORDAM selesai, sudah mulai kugarap sebuah novel ttg tragedi yg dialami sebuah keluarga Batak, ber-setting di wilayah perkebunan Sumut, pasca peristiwa G-30S. Novel tsb terhenti krn saya butuh waktu riset, sementara waktu utk itu tak begitu cukup. Maklum lae, dapur di rumah hrs tetap berasap. Lalu muncul sebuah ide cerita (tetap bertema manusia Batak dan setting-nya Tano Batak, kejadiannya sekitar 1974 ke atas), namun sesudah masuk ke bab 3, ada yg aneh dlm diri saya. Saya katakan aneh krn, setiap kali saya baca bagian yg sdh saya tulis, kok merasa sedih dan sangat kasihan pada si tokoh cerita yg jelas-jelas fiktif itu. Saya tak mampu meneruskannya, lae, setidaknya menunggu waktu supaya bisa menarik “jarak yg aman” dng si tokoh. Sambil menunggu waktu dan suasana hati yg lebih tenang, juga di sela kerepotan mengurus pekerjaan dan rumahtangga, tanpa sadar telah dihanyutkan blog “gila” dari Balige itu: ikut-ikutan menulis, berkomentar, membaca isinya, dll.
    Suatu saat, peranan lae kita si Jarar Siahaan menghentikan proses kreatifku itu, hrs kuminta pertanggungjawabannya. He-he-he…

    Saran lae agar saya menulis lebih ringan (bahasa gaul) menyangkut topik/tema cerita Batak tetapi memasukkan unsur budaya Batak, sangat menarik. Sebetulnya, dalam SORDAM pun sudah kucoba lae, tapi mungkin belum berhasil. Lae pasti masih ingat bab-bab pembicaraan si tokoh dng teman-teman dekatnya dan sepupunya (Binoto, Amani Tongam). Bahasanya agak nge-pop kan lae? “Cilakanya”, menurut Wina Armada yg salah satu orang penting di PWI dan Dewan Pers itu (kawan lama), seharusnya saya tetap bertahan dengan gaya penceritaan di bab 1, 2, 3. (lebih ketat menjaga alur kalimat dan frasa, katanya). Bah, macam mana pula ini?

    Tapi, apapun pendapat, masukan dan bahkan kritik pembaca–seperti lae, Tamy Naipospos, dll–akan kujadikan bahan yg berharga mahal utk melahirkan karya berikutnya. Semoga bisa lebih bagus. Sekali lagi, terimakasih lae.

  14. I look this paragraf !!! with between this novel sordam ? please, give to me the some cover with this email…….!

    *** Sudilah kiranya lae Suhunan mengirimkannya ke teman kita itu

  15. Horas….

    Saya sangat kesulitan untuk mendapatkan Novel sordam lae…. hanya baca sinopsis di blog ini saja. Membaca komentar rekan2 membuat saya tertarik untuk membacanya, tapi salut buat lae suhunan sudah menyumbangkan talentanya untuk publik. Semoga sukse lae…, mudah-mudahan muncul telanta2 muda generasi penerus. Buat ito tami… maju terus… dan siap menerima kritik. Mauliate….

  16. @ Arindo Marbun
    Lae, sudah banyak yg mengeluh seperti lae, tapi sabarlah lae, masih alot prosesnya. Semoga penerbitan berikutnya bisa lae dapatkan. Mauliate atas dukungan moral/semangat dari lae. Horas.

  17. Bah tung mansai bangga do iba tutu tu boru ni tulang on (Tami, maaf, ni baranihon mandok songoni ala ompung niba boru Nai Pospos sian Nai Pospos kec. Silaen). Terharu iba, karena sekarang agak jarang pelajar-pelajar yang berbakat penulis apalagi langsung sian huta muse (SMA Laguboti), songon adek Tami on, nga sanggup membedah buku karangan sekaliber Suhunan Situmorang, yang diapresiasi sdr Yunan Napit sejajar dengan karya Pram dan apresiasi dari teman lain. Sai anggiat ma lam tu majuna hita sude angka bangsoi dibagasan holong ni roha, songgoni angka hamuna na martalenta menulis dan mencipta, asa lam tambah angka parbinotoan marhite-hita angka karya-karya muna be. Horas.

  18. horas ma tu ho ate ito……bah….tong do huroha ho ate lomo roham manjaha sordam i???ale rada rada hutanda do nian bohimi ate ito….alan bah tong do parlaguboti on iba…..ale las do rohangku tong tu ito on…iba baru pe dung kuliah hukum iba di semarang on asa baru ni jaha buku sordam na binaen ni amang suhunan i..sahat do tong tu friendster ni iba nibaen i buku esukaan niba……..pas manjha buku ni amang suhunan on..gabe marsisir do badan ni iba on..plagi buku i manorangkohn tentang kehidupan angka na bergelut di hukum…bah nipingkiri ma songonon do haroa tong nidalanan molo dung terjun iba di law in action…..

    *** Didia hinan do ho huroha SMA Chary? Molo si Tami kelas 2 saonari dope. Molo SMA 1 Laguboti hian do, ba mungkin ma ra tandaonmu kalas sadamuna hian.

  19. hmmm pandai juga untuk ukuran anak SMA menyimpulkan resensi sebuah buku “berat” sekaliber ‘Sordam’ apalagi anak muda jaman sekarang kurang mengerti bahasa batak baku ‘jaman dulu’ yang jarang di dengar lagi di kehidupan sehari2….
    semoga tambah pintar ya dek ‘tami’
    hmmm seandainya aku disuruh menyimpulan, akupun ga sebagus kau menyimpulkan buku itu seperti punyamu.

    salam

    *** Eh boru Naipospos bisa aja kamu 😉

  20. Horas hamu sasude,
    Tidak banyak yang saya komentari dalam blog ini selain saat ini kami (WHITEFRAMES MEDIA) sedang mencari produser untuk produksi film layar lebar tentang romansa percintaan berlatar panorama alam Batak dan juga kultur budaya Batak.
    Untuk informasi dan keterangan lebih lanjut, silahkan hubungi saudara Djody | 0812.10.10.6033.
    Kebersamaan kita semua adalah sebuah icon keunggulan orang Batak di mata masyarakat Indonesia bahkan dunia (film ini direncanakan akan disertakan dalam beberapa festival film tingkat Internasional).
    Terima kasih dan Tuhan Memberkati

    WHITEFRAMES MEDIA
    Djody Dominicus
    Writer & Film Director

  21. bah…songon na bangga do iba dah tu hamu angka adek-adek niba na di huta i…(tingkatkan ya dekk)

    bukunya dah ada dimedan ini gak…
    kalau ada itu dipasarkan dimana…thanx…GBU
    bresman alumni 2007

  22. Aku mau nyombong dikit nih…hehehe

    Aku sudah punya bukunya yang 1st edition itu dgn tanda tangani si penulisnya langsung. Aku dikasih sebelum buku itu terbit. Sekarang buku itu langka. Otomatis jadi bukuku yg paling berharga sekarang.

    Gara2 novel SORDAM aku jadi sering ke Pangururan dan Tanjung Bunga. Sekarang tiap bulan aku pasti ke sana. SORDAM is the best!

    @ paribanku Tami,

    Salut kali aku bah.. Masih SMU tapi sudah bisa mengapresiasi sastra dan bikin resensi novel. Sebagai orang batak aku bangga sama kau, dek. Aku aja walupun par Jakarta gak ngerti sastra..hehehe. Teruskan minatmu ya.. Seperti kata bang Jarar, jangan berhenti membaca!

    @mas Djodi
    Kalo jadi bikin filmnya aku mau dong jadi music scorer nya…hehehe

  23. @ si pikki..

    wah mantaf lae sering ke pangururan,dan Tanjung Bunga…bah nga didalani lae hape hutaki?? Tanjung Bunga… molo mulak sahali nai lae…sahat tabe tu akka partanjung bunga ateh…

  24. Salut buat Tami…..

    Membaca itu ibarat membuka satu dari jendela2 yg ada di jagat raya ini. Siapa saja bisa melongok melalui jendela yang sama. Namun sedikit yang mampu menemukan keindahan yang teselip diantara onak dan ilalang yang menghalangi pandangan.

    Dan hanya orang yang punya hati yang mampu menjerat maknanya untuk dia penjarakan di alam pikirannya yang bergerak bebas, untuk dia bagikan dalam bahasa yang jujur.

    Dan Tami adalah salah satunya.
    Jangan pernah bosan dan jangan cepat puas ya sayang..
    Good Job…

    Horas…

  25. Aku memikirkan tulisan ini pas lagi stay beberapa hari di Niagara Hotel Parapat, dan aku putuskan untuk menulis dan setelah kembalinya ke Jakarta akan aku kirimkan ke blog ini:
    Aku melirik meja kecil disebelah tempat tidurku, terletak novel inspirasi itu..SORDAM karya Tulangku Situmorang (red-Mama boru Sitohang)..dengan sangat senang hati setiap malam sehabis kegiatan (kebetulan ada tugas kantor dari Jakarta-untuk persiapan PESTA DANAU TOBA yang dihadiri NO.1 di Indonesia) aku langsung membuka-buka situs penting ini (https://tanobatak.wordpress.com/sordam/) yah…..melihat komentar banyak orang tentang Novel Sordam itu, Novel Sordam, buku merah hati yang tidak sengaja aku temukan lewat e-buy di internet, 2 hari setelah aku apply akhirnya buku itu aku dapatkan,rasa penasaranku beralasan………ternyata buku itu memang magic,
    rasanya membaca kata demi kata di novel yang ajaib itu, sangat menguras energiku, aku menikmati gelombang perasaanku dan emosiku, bahkan jauh hari sebelum aku memutuskan untuk menyelesaikannya, aku berdamai dengan hatiku untuk menyelesaikan membaca buku itu pas berada di danau Toba, kala itu ada waktu off 2 hari setelah pekerjaanku selesai, aku menuju rumah, RONGGUR NIHUTA, rasanya bercampur baur, menikmati buku SORDAM dan tertawa bahagia karena akan ketemu dengan Damang/Dainang di huta, begitu sampai di Pangururan aku memutuskan menjelajahi semua titik-titik kejadian yang tertulis di novel itu, sampai-sampai supir yang aku sewa dari Medan kebingungan karena aku hanya berhenti mengamati tempat itu dan membayangkan Paltibonar berada disana, Tanjung Bunga, Ronggur Nihuta,Aek Rangat,
    SORDAM………telah membuka ruang hati, jiwa dan kebekuanku, SORDAM telah mengkritisi semua kisah CITA dan CITA manusia batak kosmo yang mencoba melepas diri dari ikatan sejak lahirnya, SORDAM telah meluluhlantakkan idealisme ku tentang sebuah kisah sukses yang harus didapat di tanah perantauan seperti aku………..SORDAM telah menjadikanku kuat(*)
    Menuju Ronggurnihuta aku bertemu sahabatku di Tomok yang kebetulan pulang dari Medan dan di mobil aku memberitahu ada novel bagus yang aku ingin oleh2kan ke dia, walau dalam hatiku berat tapi nuraniku mengatakan aku tidak boleh menikmati sendiri inspirasi dari novel itu….(tragis memang)
    Begitu kembali ke Medan aku telah menjanjikan akan memberi 3 buku lagi kepada 2 ponakanku dan 1 sahabatku waktu kuliah dulu….
    Tapi untuk kali ini aku ingin mendapatkan buku itu dengan tanda tangan pengarangnya langsung, syukur2 aku dapat no HP Tulang Suhunan……….
    Kalo ada yang bisa bantu…..tolong kasi info ……….SALAM
    dari ANAK RONGGURNIHUTA………(MASIH BANYAK CERITA dengan PENGALAMAN KU bersama NOVEL SORDAM)

  26. bah…molo bukkuku sisongoni nnga mago be,….sohuboto manang ise mambuat,….sai didok tabo jahaon ninna,…nian heado hudok,…Tabo jahaon bukku i,..alai uttaboan molo huhut ni tuhor….

    alai ima….sobinoto manang tu dida bukku i,….

    kabar terakhir, Bukkukki lagi Pulang Kampung ke Medan….

    mudah, mudahan Buku Sordamku, tau jalan pulang ke CIkarang……

  27. Sordam…
    Novel itu mencuri perhatian saya setelah suatu sore saya lihat istri saya memegang dan membaca novel tersebut, karena:

    Judulnya (Sordam)
    Ilustrasi dan warna Cover
    Pengarang (Batak)

    Saya memang tidak membaca keseluruhan bab demi bab novel tersebut, saya hanya baca 2 bab pertama dan satu bab terakhir.

    Paltibonar itu bukan orang yang tegas, tapi memang dia pandai bergaul.

    Menurut aku sih, tokoh utamanya adalah orang yang gagal dalam hidup. Gagal membina rumah tangganya, gagal membahagiakan Inongnya.

    Saya juga berharap tokohnya adalah nyata, ternyata seperti tanggapan Bang Todung Mulya Lubis, novel ini adalah fiksi.

    Saya memang tidak membaca keseluruhan bab demi bab novel tersebut, saya hanya baca 2 bab pertama dan satu bab terakhir. Dan… saya tidak lagi penasaran membaca bagian bab yang lain.

    Regards,

    Lionel Sadrach

  28. Tami…… I miss u sobatku!
    kita udah lama ga ketemu,.! aku salut atas prestasi tentang sastra novel kamu. kamu memang hebuaat bangat. Ai ga nyangka Friendku, ternyata kamu berbakat juga. tapi aneh ya, kok waktu smp kamu ga menunjukkan bakat kamu ke kami teman sekelasmu, tapi ga papalah yang penting sekarang udah nampak. key?
    eh…… ga papakan kalo kita bersaing,karna kita sama-sama bakat membuat novel. aku bukannya sok tapi kalo bersaing kan bisa bikin kita lebih giat lagi. iya ga? sukses ya tami………
    cai yo……..
    ckkk……..

  29. salut buat tami untuk buat resensi novel yang berat dan bertele-tele,saya bangga anak laguboti dapat meresensi novel,ini indikasi adanya peningkatan kualitas pendidikan di laguboti umumnya di tobasa,
    bangga saya anak laguboti

    viva laguboti

  30. Horas adik Tami
    resensinya sangat membantu.
    Buat Lae suhunan, saya percaya karya lae
    bisa menembus batas batas yang ada di indonesia ini, saya yakin karya anda akan seperti karya karya
    andrea hirata

  31. @ Binsar Marbun
    Mauliate atas support-nya, lae. Tapi, sebagaimana yg kerap aku katakan pada kawan (termasuk Lae Monang Naipospos), saya sebenarnya lebih suka menyaksikan munculnya penulis-penulis dari kaum muda Batak; menikmati pikiran-pikiran dan imajinasi mereka. Saya melempar SORDAM lebih sebagai pemancing, karena jagad sastra Indonesia terbilang sunyi dari penulis dng tema-tema lokal Batak (semua puak). Bila dibandingkan dng Minang, kita sangat jauh tertinggal. Padahal, menurut para ahli: sastra atau fiksi (turi-turian), bisa lebih efektif sebagai media penyampai gagasan, pikiran, problema, harapan, dibanding karya tulis lain (non-fiksi).

    Pekerjaan saya sehari-hari adalah praktisi hukum (korporasi) lae, yang sering harus “maringkat-ingkat” ke luar kota dan dalam dua tahun terakhir ini setidaknya dua kali dalam sebulan jadi pembicara/instruktur utk topik tsb dalam workshop yg dibuat oleh IICD (Indonesia Institute of Corporate Directorship), Radio Cosmopolitan FM, dll; akhirnya tak banyak waktu utk melahirkan karya baru. Saya tetap menanti-nanti munculnya karya penulis-penulis baru atau lama dari suku Batak yang berani dan mau mengangkat masalah-masalah di sekitar kehidupan manusia Batak, sebagaimana penulis Bali, Jawa, Sunda, Minang, dan Melayu-Riau. Tetapi, dengan datangnya dukungan dari teman dan orang-orang seperti lae, akan saya usahakan utk melahirkan karya baru. Anggiat ma lae. Mauliate.

  32. ANDREW AGUNG SINAGA – BANDUNG

    HORAS TU HITA SALUHUTNA!!

    saya mahasiswa di Bandung, berasal dari sumatera utara. saya membaca blog ini, dan saya sangat senang, ternyata kerinduan orang – orang akan musik batak sama mengalir dengan deras di hati saya.
    adanya kerinduan saya bukan semata – mata didasari karena saya orang batak semata (dalam setiap kegiatan, saya memilih menyingkat nama saya dibanding marga. cth : Andrew A. Sinaga) itu kebanggaan saya sebagai orang batak. seperti kata lae I. Simanjuntak kalo di bandung mahaiswa seperti itu, malu terhadap adatnya sendiri itu merupakan realita dan kenyataan. bahkan tidak sedikit yang “berusaha” menjauhkan diri dari budaya tersebut.

    Budaya tidak dapat disamakan dengan AGAMA! karena budaya telah ada jauh sebelum agama ada. ini berkaitan dengan sudut pandang kita melihat budaya sebagai apa. Jika dianggap sebagai pemujaan setan, maka terjadilah seperti yang kita katakan, Namun jika kita menikmatinya dan berusaha mempertahankan budaya tersebut, maka terjadi lah seperti yang kita yakini. Benar ga?

    Sebagai suatu pandangan, ada suatu unit kebudayan sumatera utara di salah satu perguruan tinggi ternama di Bandung yang telah berdiri lebih dari 20 tahun. Sedikit informasi, saya sedang memperdalam alat musik sulim batak yang sudah saya pelajari sejak SMP. Jujur, ada kerinduan saya untuk bergabung dalam unit tersebut, namun ketika saya tanya dengan teman saya, ” Bagaimana cara masuk unit itu? ” dia menjawab,”BERDASARKAN AD/ART (bukan atas azas persaudaraan sesama batak), mereka yang masuk dari luar kampus harus memberikan kontribusi kepada pihak unit.” dan setelah saya teliti, hanya 1 orang yang pernah diangkat sebagai anggota luar biasa unit tersebut yaitu dosen yang menjadi pembina mereka (sumber ini saya dapat dari anggota unit tersebut dan dapat dipertanggungjawabkan)

    Intinya, saya rindu untuk mempertahankan musik batak. Tapi ternyata saya kurang dianggap “capable” menjadi anggota. Maka saya membentuk suatu grup musik di Persekutuan MAhasiswa Kristen di kampus kami, dan terkadang kami melayani dengan JIMBE (gendang irama reggae), gitar, dan sulim saya.

    Bagi Unit diatas, terus terang kecintaan saya pada musik batak sangat besar. Bahkan, kakak saya yang mengambil jurusan musik di Univ.nomensen Medan tidak dapat memainkan musik batak. Kronis? itu kakak saya sendiri dan dia bisa menikmatinya.

    Ada kerinduan saya untuk dapat bergabung, dan bukan maksud saya untuk menyalahkan unit ini, karena saya juga sesekali bermain kesana. Kerinduan daya ini semakin mencuat, apalagi setelah membaca artikel seorang “BULE” ini yang sangat mencintai budaya dan belajar bahasa batak.

    Jika berkenan menerima saya, saya siap berkontribusi dan bergabung bersama untuk mempertahankan budaya batak. Saya memang tidak pintar, namun seperti kata pepatah “tidak semua yang mampu dapat melaksanakan, tapi yang mau” terima kasih, semoga ini dapat menjadi saran bagi kita bahwa musik dan budaya Batak denga optimis dapat kita pertahankan khususnya oleh kaum muda” akhir kata dari saya lao tudia pe hamu mangalakka, ingot ma Tuhan ta i, ingot ma Batak i.

    Dang puna ni halak i, puna ni hita do i. Ingkon hita do namarhobas tu budaya dohot adatta. Dang tumagon tu na asing, adong do hita!

    Sahat -sahat ni solu, sai sahat ma tu bottean.
    Nga sae ipasahat nami ualon nami tu hamu, sai i pasu – pasu ma hamu, sai sahat mahita mangolu sai sahat ma i tu parhorasan, sai sahat ma i tu panggabean.
    HORAS . . HORAS . . HORAS!!!

    salam damai

    andrew a. sinaga

    andrewsinaga23@yahoo.com

  33. Horas ma di hamu. Selamat nang tu adek niba si Tami yang punya minat dan kemampuan meresensi buku Bp. Suhunan Situmorang. Saya sangat penasaran dengan novel tersebut, apalagi setelah membaca sinopsis yang dibuat adek Tami. Kebetulan bulan Pebruari ini saya berangkat dari Thailand ke Medan untuk suatu pertemuan, sambil ma mulak satongkin mamereng natua-tua i di Hatoguan Palipi (Samosir). Klo bisa saya tahu dimana saya bisa membeli buku itu di Medan? Rasanya saya akan sangat senang klo buku itu bisa kubaca nanti di Thailand.
    Horas ma di hita

  34. Klo bisa saya tahu dimana saya bisa membeli buku itu di Medan? Rasanya saya akan sangat senang klo buku itu bisa kubaca nanti di Thailand.
    Horas ma di hita

    Sarupa hita lae…akupun mau kub bli lagi tuh buku..dah gak dpat lagi bah…dulunya saya dah punya,…entah gimanaceritanya, buku ini bisa jalan sendiri…denger-denger gossip dari Insert Pagi,….buku ini sedang menuju perjalanan ke Tanjung Bunga, lalu ke Pakkat…bah…semoga buku ini sampai ke tujuanya ya….

    dan mudah-mudahan buku ini sampe ke tailan sana,…tapi ngapain yah….

    mungkin cetakan kedua nanti akan terbit.

    Mengingat banyaknya respon seperti ini, sudi kiranya amang SS mau ber-loja-ria untuk menyurati penerbitnya, untuk di cetak ulang kembali…..

    Ai nunga godang na galetong dibariba on…..

  35. Hebat ya Tami…mampu meresensi sebuah novel menurut aturan/kaidah sastra… Wah pengen jg memiliki bukunya..
    di Tg pinang belum pernah lihat. bisa bantu sy…. Di Medan di toko buku mana kira2. nti sy mnta tolong sodare tuk ngirim…
    Sudah baca buku kebanggaan riau ;LASKAR PELANGI:?? menyentuh, menggelikan Mari kt barter..Mauliate..
    Salam menyambut paskah..
    sitanggangprikcen@yahoo.com

  36. Songon na tertarik do iba tu Novel i bah, alai dang adong dope hea dapot ahu novel i. Molo asa boi dapot iba Novel i sian dia ma naeng ateh? Ai hubereng di toko Buku yang katanya super lengkap tetap aja gak ada. Sebenarnya baru 3 bulan lebih saya mencarinya.

  37. horas!
    saya pendatang baru.
    saya penasaran dngan novel sordam tersebut.
    jika boleh pada siapa saya peroleh secara gratis atau cuma2 novel tersebut.
    saya adalah orang yang suka dngan karya2 sastra terleih daerah.
    saya harap ada yang membantu ya.

    tebe jala horas.

    th.marapul/+

  38. SORDAM TAMI

    1. GBU Tami, Tuhan memberi Talenta pad Anak SMA Laguboti
    2. Talenta itu kembangkan usahakan maksimal demi guna kontribusi
    2.1.Pada KBP Kulturbudayaperadaban Batak dan NKRI dan Dunia,
    2.2.Itu maksud bakat (telanta) dianugarahi Tuhan pada manusia,

    2. Usahan studilanjut masuki interdisipliner
    2.1.agar nanti bisa lihat Dimensi I II III Ide Pelaksanaan Finalisasi.

    3. HJG

    4. NDH, Turut Pencerah Generasipenerus (Hamburg)

  39. Horas,

    Santabi di hamu natua-tua nami, lae,ito , dohot sude haha anggi na adong di blog on .
    Izinkan saya menuliskan sedikit hal sbg ungkapan yg ada dalam hati ku :

    1. Terimakasih utk Penulis Pak Suhunan Situmorang , karena walaupun masih membaca blog ini ,pengetahuan saya tentang budaya batak jadi bertambah, Kiranya Pak Suhunan akan bisa berkarya lebih dan lebih lagi . dan Semoga keluarga senantiasa dalam sukacita yang dari Tuhan. Amin

    2. Terimakasih juga utk TAMI , karena dari dia lah hal ttg novel ini saya jadi tahu ^_^ , semoga dirimu (TAMI ) semakin bertumbuh dan bertumbuh lagi menjadi lebih hebat lagi. Salam Kasih dari Kakak Alumi mu ( Alumni SMU 1 Neg Laguboti.) ^_^

    Horas .

  40. Novel yg sangat bagus , tapi sayang nga sempat kebagian Novelnya ,keburu habis ibarat ARSIK langsung habis di santap dengan uram2nya

    Bang SS, DITUNGGU cetakan keduanya

    Ide yg sangat Bagus kalo ada yg bisa buat kisah Novel SORDAM ke dunia film

    Buat ito Tami, Mantaf bah 🙂

    Horas

  41. SAya Sangat Suka Sama Kamu
    Karena Rasanya Baru Kali Ini Aku Melihat Seorang Pelajar Bisa Meresensi Buku
    Yang Bagus

  42. “Sayang tidak ada lagi ditemukan di Toba yang mampu memainkan.”

    apa iya????????

    baru kemarin (26 Maret 2011) aku menyaksikan dan mendengar seorang pemuda dari Medan yang mampu memainkan alat musik tersebut. Ito Hardoni Sitohang memainkan nya di PRSU 2011…..

Tinggalkan komentar